Sabtu , 14 Desember 2024
Breaking News

Butuh Ketegasan dalam Perangi Narkoba

Sepasang suami istri terlihat kalut. Anak laki-laki mereka yang kini duduk di bangku kelas 1 SMA ketahuan mengonsumsi obat terlarang sejak dua tahun yang lalu. Di kamar sang anak, tersimpan bong, alat pengisap ganja. Sebelumnya, sang ayah sudah menaruh curiga saat si anak selalu meminta uang tambahan untuk biaya ekstrakulikuler. Usut punya usut, tidak ada kegiatan ekskul di sekolah sang anak. Setelah ditelusuri, uang tersebut digunakan untuk membeli ganja.

Itulah sepenggal kisah yang diceritakan anggota Fraksi PKS MPR RI, Nasir Djamil, dalam “Diskusi Pilar Negara: Eksekusi Mati Pengedar Narkoba”. Kini anak tersebut, Nasir berkisah, telah dipindahkan ke pondok pesantren di kawasan Tasikmalaya.

Kisah tersebut adalah satu dari banyak kisah serupa lainnya yang memperlihatkan betapa pesatnya peredaran narkoba di negeri ini. Dalam diskusi yang dilangsungkan di Gedung Parlemen RI, Senayan itu, Nasir mengungkapkan kegelisahannya akan kondisi ini.

“Peredarannya semakin masif, tak mengenal umur dan status. Semua sudah kecanduan. Bahkan para gembong narkoba itu bisa bertransaksi di tempat-tempat yang harusnya steril dari narkoba,” ungkap pria yang juga anggota Komisi Hukum DPR RI ini.

Kata Nasir, negara harus mampu menyikapi hal ini. Jangan sampai, lanjutnya, negara seperti ditelanjangi oleh para mafia narkoba. Ini terbukti dari dijadikannya Indonesia sebagai negara produsen.

Indonesia, ungkap Nasir, memang merupakan pasar empuk bagi gembong barang haram tersebut. Banyak pintu masuk menuju Indonesia yang tidak dijaga ketat oleh aparat. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang banyak juga menjadi daya tarik bagi pengedar narkoba.

“Di Kepulauan Riau, misalnya, itu ada lebih dari 2000. Yang terjaga hanya beberapanya, itu pun dengan sarana yang minim dan aparat yang berjumlah 2 orang. Makanya dijadikan sasaran empuk, tidak hanya untuk transit, tapi juga untuk penyimpanan narkoba. Karena memang tidak terdeteksi,” kata Nasir.

Dalam diskusi siang itu, Senin (20/4/2015), Nasir menilai perlu ada perbaikan di segala sisi untuk memberantas narkoba, terutama ketegasan aparat. Hal ini terlihat dari ditemukannya narkoba di Lapas Nusakambangan beberapa waktu lalu.

“Tidak hanya itu, ketegasan presiden dalam menghukum terpidana narkoba juga ikut menentukan. Kalau ditunda-tunda terus, sama saja kita dilecehkan oleh para mafia itu,” ungkap pria asal Aceh ini.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Mustafa Fakhri sependapat dengan hal tersebut. Katanya, ketidaktegasan aparat negara akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk bisnis haram ini.

“Kejahatan narkoba dengan terorisme itu beda. Kalau terorisme, aparat akan ditembaki. Kalau narkoba, aparatnya didekati supaya bisnis mereka lancar. Makanya perlu ketegasan,” kata Mustofa.

Maka dari itu, Mustafa menilai, eksekusi mati bagi para terpidana mati tidak boleh ditunda terus menerus. Pasalnya, hal ini menyangkut wibawa negara di mata dunia. Mustafa bahkan punya jawaban tersendiri bagi pihak yang menganggap hukuman mati tidak memberi efek jera.

“Hukuman dikasih memang bukan untuk efek jera ke masyarakat. Tapi untuk memberi rasa adil bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Jadi di mana letak pelanggaran HAM-nya?”

Menutup diskusi siang itu, baik Nasir maupun Mustafa sepakat bahwa aparat negara sebenarnya menyadari darurat narkoba di negeri ini. Tapi sayang, negara seperti lemah di hadapan narkoba. Bahkan lembaga negara tidak bersinergi satu sama lain dan seolah-olah menyerahkan persoalan ini kepada BNN semata.

“Padahal kan tidak. Semua lembaga, semua kementerian, ada andil dalam persoalan ini. Ini sudah bukan darurat narkoba lagi, sudah lebih gawat. Entah apa namanya,” ungkap Nasir menutup diskusi siang itu.

loading...

Lihat Juga

Kapal RI BIMA SUCI

Batam.07122017 Pelabuhan Batu Ampar telah merapat KRI BIMA SUCI diperkirakan selama 3 hari. Bima suci …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *