Wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus mendapat protes dari kalangan pengusaha rokok.
Bahkan, para pengusaha menuding ada permainan kotor di balik rencana menaikkan harga rokok yang mereka nilai tidak wajar tersebut.
Wacana tersebut mencuat setelah muncul kabar perhitungan harga rokok Rp 50 ribu dari hasil kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) yang menyatakan ketergantungan akan rokok bisa berkurang bila harganya dinaikkan dua kali lipat.
“Ini suatu permainan yang kotor yang kemudian dia (Fakultas Kesehatan Masyarakat UI) kembangkan. boleh saja mencoba public opini, toh ini tidak akan berpengaruh,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Indonesia (Gapri) Ismanu Soemiran, seperti dikutip dari Okezone, Sabtu (20/8/2016).
Ismanu mengatakan, ketika industri rokok lokal tengah menguasai pasar baik domestik ataupun dalam luar negeri, maka tingkat persaingan akan semakin ketat. Begitu juga dalam isu kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu, di dalamnya syarat dengan isu persaingan untuk menjatuhkan industri rokok lokal.
Dikatakan Ismanu, industri rokok keretek mempunyai pangsa pasar 94 persen di dalam negeri dan rokok putih mengusai pangsa internasional.
Ismanu menambahkan, pada dasarnya rokok Indonesia sudah go internasional dan sudah banyak masuk ke negara-negara seperti Amerika Serikat hingga ke negara Eropa.
Pengusaha rokok, kata dia, bisa saja jadi nomor satu di Indonesia, tapi tidak untuk rokok Indonesia. Sebab, rokok kretek bermetamorfosa menjadi industri berbasis pada kearifan lokal yang semakin tumbuh menjadi industri multinasional.
“Kita dianggap pesaing berat untuk ditaklukkan. Kita pun ingin dijatuhkan melalui regulasi yang namanya kesehatan. Jadi ini memang politik dagang,” tandasnya.