Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas akan rampung tahun ini. Jika revisi beleid ini tak juga selesai, Kurtubi menyarankan pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
“Pahitnya, kalau sampai akhir 2016 ini, revisi UU tersebut tak kunjung rampung, DPR akan menyuruh pemerintah dengan mengajukan Perpu tentang Migas kembali ke DPR,” katanya saat diskusi energi kita, Di gedung Dewan Pers,Jakarta, Minggu (18/9).
Kurtubi mengatakan, komisi VII DPR yang bertugas mengawasi sektor migas akan lebih intensif untuk membahas UU tersebut. “Bulan depan komisi VII mulai membahas revisi UU migas Nomor 22 Tahun 2001,” kata Kurtubi
Lambatnya proses rumusan revisi UU ini karena banyak pendapat dari para fraksi yang ada di komisi VII. “Sebab, dari 10 fraksi banyak pendapat-pendapat yang susah kita satukannya,” ujar dia.
Sebelumnya, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi menilai, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memiliki banyak sekali kelemahan. Menurut dia, undang-undang ini sangat liberal.
Sebab, dalam aturan itu menempatkan Pertamina sama dengan kontraktor-kontraktor asing lainnya sehingga Pertamina harus ikut tender apabila ingin turut dalam pengelolaan migas.
Menurut Fahmi, pengelolaan migas seharusnya terlebih dahulu diberikan kepada Pertamina sebagai perusahaan milik negara. Apabila Pertamina tidak mampu, kata dia, baru diberikan kepada investor asing.
“Seharusnya, liberalisasi menciptakan efisiensi. Namun, pemilik modal lah yang akhirnya menguasai,” katanya.
Karena itu, Fahmi mendesak pemerintah dan juga Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi UU Migas. “Kalau tidak, alternatifnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Upaya melakukan perubahan harus segera dilakukan karena ini berbahaya sekali,” katanya.