Sampah yang dominan di Tanjungpinang adalah plastik “ramah lingkungan”. Plastik tersebut diklaim mudah terurai hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, tetapi itu tak berlaku jika terbawa ke laut. Plastik mudah terurai yang dipakai peritel sebagai kantong plastik demi memanjakan konsumen itu jadi masalah di laut.
Ternyata plastik mudah terurai ini butuh syarat tertentu agar bisa terurai di lingkungan. Yakni suhu tinggi atau lebih dari 50 derajat celsius, radiasi ultraviolet sinar matahari, hingga paparan udara jadi syarat agar plastik itu bisa terurai seperti yang diklaim produsennya. Kondisi itu tak dipenuhi di bawah laut yang gelap, dingin, dan minim oksigen. Laporan terbaru Program Lingkungan PBB (UNEP) itu menggugah agar tak menganggap sepele sampah plastik meski itu sampah plastik “ramah lingkungan”.
Sementara itu, Abeng warga Pelantar II Tanjungpinang mengatakan, secara pribadi dirinya sudah menaati peraturan terkait pembuangan sampah. Ia menyadari, laut bukan hanya kehidupan bagi makhluk hidup yang ada di laut, tetapi juga merupakan urat nadi kehidupan bagi manusia. Terkait minimnya kesadaran masyarakat memang membutuhkan kreativitas kepala daerah untuk menggalakkannya.
“Memang perlu ada ketegasan dari Pemerintah Daerah. Tidak ada gunanya, satu mendukung tidak buang sampah di laut. Sementara yang lainnya tidak mengindahkannya,” ujar Abeng
Ditempat yang sama, Agus Candra, Pemuda Kampung Bugis mengatakan untuk mendorong terwujudnya harapan tersebut tentunya harus melibatkan banyak pihak. Ia melihat, petugas kebersihan yang membersihkan sampah dilaut mulai kewalahan. Menurut Agus, pembuangan sampah bukan hanya masyarakat yang tinggal di pelantar. Akan tetapi pekerja-pekerja kapal yang berlabuh juga sering membuang sampah ke laut.
“Kita saja tidak tahan kalau dikelilingi dengan sampah. Kebersihan laut bukan hanya untuk keindahan mata memandang, tetapi memberikan kemudahan bagi semua orang. Baik bagi kapal yang berlayar maupun aktivitas lainnya yang dilakukan dilaut,” papar Agus.
Ditambahkannya, persoalan ini menjadi ujian tersendiri bagi kepala daerah. Sehingga perlu kreativitas dalam meyakinkan masyarakat Tanjungpinang, khususnya yang tinggal di Pelantar. Menurut Agus semua elemen harus digandeng. Begitu juga penambang-penambang pompong. Sehingga pergerakan untuk membasmi sampah dilaut bisa terus berlanjut.
Berangkat dari persoalan tersebut, tentunya perlu management dan tata kelola sampah laut yang dibuat oleh pemko Tanjungpinang, untuk membangun image Tanjungpinang sebagai water front city yang bersih dari sampah laut. Disamping itu juga perlu kesadaran seluruh element masyarakat yang bertempat tinggal atau memiliki usaha di tepi laut agar tidak membuang sampah ke laut.
“Agar laut terbebas dari sampah, pemko Tanjungpinang perlu menyusun Regulasi khusus yang sifatnya mengatur, mengikat, mengedukasi serta memberikan reward dan punishman kepada seluruh element mayarakat tentang larangan membuang sampah ke laut. Apabila ini terlaksana, laut Tanjungpinang akan menjadi saujana bagi pariwisata bahari,” papar Agus lagi.