Di tengah kondisi ekonomi yang kurang menjanjikan, banyak pengusaha pemula Batam yang memberanikan diri membangun bisnis pribadinya. Semangat mereka kian besar karena banyaknya dukungan dari pemerintah, perbankan, dan lingkungan sekitar.
Masalah setiap pengusaha pemula atau start up pasti sama. Pertama, kurang sabar. Kedua, kurang fokus. Dan ketiga, ikut-ikutan. Komunitas Tangan Di Atas (TDA) Batam menemukan masalah itu pada para anggota pemulanya.
“Di TDA, mereka diajari untuk fokus, menggali inspirasi, dan diajari sabar,” kata Ketua TDA Batam, Gunawan.
TDA itu komunitas pengusaha. Terbuka untuk umum. Tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Serta tidak mewakili satu agama tertentu.
Semua orang boleh gabung. Baik yang sudah mulai buka usaha. Maupun yang sedang merencanakan membuka usaha. TDA, kata Gunawan, fokus mendorong munculnya pengusaha-pengusaha baru.
TDA Batam berdiri pada tahun 2009. Ini atas permintaan para pengusaha Batam sendiri. Awalnya, mereka hanya sekedar kumpul sarapan dan berbagi pengalaman. Mereka menyebut acara itu dengan nama mastermind.
“Anggota awal itu hanya sepuluh orang,” kata Gunawan lagi.
Sekarang, anggota aktif TDA Batam mencapai 334 orang. Mereka berkumpul di grup aplikasi telegram dengan nama Rumah TDA Batam. Kalau di grup Facebook, jumlahnya mencapai seribu orang.
Segala macam info dipertukarkan di grup-grup tersebut. Mulai dari info workshop, seminar, atau ajang lomba bisnis. Tapi tidak kalau untuk jualan.
“Kalau untuk jualan, kami punya grup khusus namanya Pasar TDA Batam,” timpal Mukminun.
TDA adalah tentang berbagi. Semua anggota harus mau berbagi. Tidak harus produk. Malah lebih bagus jika itu keahlian ataupun pengalaman. Cara sukses berjualan di Facebook juga menjadi satu kemampuan khusus. Hal itu bisa dibagi ke anggota yang lain.
“Jangan memanfaatkan kami kalau tidak mau memberikan manfaat bagi orang lain,” kata pria yang akrab disapa Minun itu lagi.
Semua hal itu dibagikan untuk menjadi pengetahuan bagi para anggota. Supaya para anggota tidak mengulang kegagalan yang sama. Dan lebih cepat sukses.
Membuka usaha jangan lagi karena nekat. Tetapi harus juga diperhitungkan untung-ruginya. Termasuk perhitungan kecukupan finansial untuk keluarga.
Makanya, sekarang, banyak juga orang bekerja yang memiliki usaha sampingan. TDA menyebut mereka ‘amfibi’. Tidak ada yang salah dengan menjadi amfibi. TDA tetap menerima mereka sebagai anggota.
“Orang-orang terdahulu menyebut nekat itu ‘membakar kapal’. Kalau kapal nggak dibakar, mana bisa usaha?” tuturnya.
Ada benarnya, membuka usaha ketika kapal sudah terbakar. Sebab, diri akan termotivasi untuk mencari uang dengan membesarkan usaha. Namun, risiko kegagalan sangat besar.
Pada kenyataannya, tidak semua orang bermental baja ketika mengalami kegagalan. Berbagi pengalaman itu untuk mengurangi risiko kegagalan. Kalau bisa tiga kali gagal, kenapa harus sepuluh kali? Begitu menurut mereka.
Gagal itu wajib dilalui seorang pengusaha. Tak hanya gagal, seorang pengusaha sukses juga pasti pernah kena tipu orang. Kalau belum kena tipu, rasanya belum sah jadi pengusaha.
Seperti halnya TDA, Komunitas Natural Cooking Club (NCC) Kepri juga gencar mengkampanyekan semangat kewirausahaan. Fokusnya pada usaha kuliner. Tidak perlu memiliki pabrik besar. Cukup dari dapur rumahan.
Sudah banyak, kata Agatha Murni Kuntari, anggota NCC Kepri yang mencoba peruntungan di dunia kuliner setelah bergabung dengan komunitas tersebut. Awalnya, mereka hanya ibu rumah tangga biasa.
“Tapi ada juga yang tidak mengaku mereka membuka usaha karena NCC Kepri,” ujar Admin NCC Kepri tersebut.
NCC Kepri berdiri pada tanggal 15 Januari 2015. Awalnya, ia hanya memiliki anggota 40 orang. Kini, jumlahnya berlipat ganda menjadi 680 orang. Keanggotaan bersifat terbuka bagi siapa saja penikmat dan peminat kuliner.
Mereka cukup join di grup facebook NCC Kepri. Nanti, Agatha-lah yang akan menerimanya. Tapi, ada satu syarat yang harus dipenuhi setiap anggotanya. Satu syarat itu adalah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
NCC Kepri memiliki agenda rutin latihan bersama. Di pusatnya di Jakarta, latbar – begitu latihan bersama ini biasa disebut, digelar sekali sebulan. Namun, di Kepri, latihan itu diadakan dua bulan sekali.
Mentornya satu orang. Seringnya, Agatha yang menjadi mentor. Ia akan menggunakan resep NCC dalam latbar tersebut. Satu kali latbar, pesertanya maksimal 30 orang.
Materi-materi yang sudah di-latbar-kan itu antara lain, japanese bread, aneka pastry, lapis legit, kue kering, dan sus.
Dengan NCC ini ia berharap, anggotanya bisa menghasilkan aneka kuliner yang dapat dijual. Hingga kemudian bisa membantu perekonomian keluarga.
“Banyak kok, dari dapur kita yang bisa ‘dijual’ ke luar. Makanan lho maksudnya,” ujarnya.
Bicara soal bisnis kuliner, Mie Terempa (baca: Terempak) merupakan salah satu bisnis yang kini menjadi salah satu ikon wisata kuliner Batam. Selain di Batam dan Kepri, Mie Terempa sudah membuka cabang di Jakarta. Namun saat ditanya tentang omzet, Very, sang pengelola kedai Mie Terempa, tertawa.
“Tidak usahlah pakai angka. Itu rahasia sih,” katanya setelah sempat berpikir. “Tapi cukuplah untuk bayar gaji karyawan,” ujarnya kemudian.
Berdiri pada tahun 2006, Mie Terempa awalnya hanya memiliki tujuh karyawan. Kini, karyawannya 80 orang. Itu hanya untuk cabang Seipanas dan Batamcentre. Belum termasuk di Tanjungpinang dan Jakarta.
Bagi masyarakat Batam, nama kedai Mie Terempa sudah tak asing lagi. Ajang kumpul bersama keluarga, teman, hingga relasi bisa dilakukan di kedai itu. Meskipun makanan yang disajikan itu makanan khas daerah.
Mie Terempa mengusung menu-menu khas Tarempa, Kabupaten Kepulauan Anambas. Menu utamanya, mie. Apakah itu digoreng, direbus, atau dibiarkan setengah basah – mereka menyebutnya ‘lembab’. Mie itu, menurut Very, hanya ada di Tarempa, ibukota Kabupaten Anambas. Makanya, kedai itu dinamai Mie Terempa. Nama itu sudah dipatenkan sejak 2014 lalu.
“Terempa bukan Tarempa. Karena Tarempa itu nama daerah, kami tidak bisa mematenkannya,” ujarnya sambil lagi-lagi tertawa.
Cukup susah, kenang Very, mengembangkan bisnis makanan khas. Karena waktu itu, tidak banyak orang yang mengenal mie Tarempa. Ia harus memperkenalkan makanan itu ke masyarakat, yang notabene pendatang semua.
“Cari uang Rp 200 ribu sehari itu susahnya bukan main,” ujarnya.
Usahanya mulai stabil di tahun ketiga berdiri. Mulai banyak yang mengenal mie Tarempa. Ia mulai balik modal. Di tahun 2009 itu, ia berani buka cabang. Ia memilih Batuaji sebagai cabang pertamanya.
Sayang, cabang itu hanya mampu bertahan selama dua tahun. Di tahun 2011, ia memutuskan untuk menutup cabang tersebut. Pembeli terlampau sedikit.
Tapi semangatnya untuk membuka cabang tidak surut. Setahun kemudian, tahun 2012, ia membuka cabang di Batamcentre. Tepatnya di Ruko Royal Sincom, Jalan Laksmana Bintan, Batamcentre. Belakangan, cabang Royal Sincom ini lebih ramai dari pusatnya di Komplek Graha Mas, Seipanas.
Beberapa bulan berselang, cabang kedua muncul. Tapi bukan di Batam. Mereka membukanya di Jalan Mangga Besar Raya nomor 68 Taman Sari, Jakarta Barat.
Pada tahun 2014, cabang pertama mengalami perluasan. Mereka membeli satu ruko tepat di samping ruko yang telah dihuni. Tidak ada alasan tak dapat tempat lagi ketika hendak makan di sana.
Masih di tahun yang sama, mereka kembali membuka cabang di luar Batam. Kali ini di Tanjungpinang. Lokasinya berada di Batu Tujuh.
“Kami sebenarnya mau ekspansi lagi ke luar tapi owner bilang tunggu dulu. ‘Penuhi dulu yang ada di Batam,’ katanya,” tutur Very.
Sudah banyak, katanya, orang-orang ingin menjajakan makanan khas itu di luar daerah Kepri. Atau istilahnya, waralaba. Kebanyakan berada di area Sumatera, seperti di Pekanbaru, Padang, dan Aceh. Ada juga yang berniat membeli lisensinya dan membuka cabang di Bandung.
Namun, Mie Terempa menolak. Mereka belum siap membuka waralaba. Salah satu penyebabnya, usaha makanan khas ini adalah bisnis keluarga. Pengelola seluruh cabang yang ada masih kerabat dengan Herry, sang pemilik. Muncul banyak kekhawatiran jika usaha itu dikelola oleh orang yang bukan keluarga.
Perjalanan Victor Hutabarat membangun bisnis tak kalah seru. Keinginan membuka usaha itu datang ketika ia aktif bekerja di Belanda. Sebagian besar waktunya habis untuk bekerja. Sedikit sekali waktu luang yang tersisa.
Ia ingin, ketika itu, melakukan kerja-kerja sosial di perdesaan. Membantu pendidikan anak desa, misalnya. Mendirikan sekolah, cita-cita besarnya.
“Tapi untuk bisa begitu saya butuh waktu, uang, dan tenaga. Saya perlu sesuatu yang bisa menghasilkan uang secara abadi. Caranya ya usaha,” katanya.
Victor lalu memutuskan mengambil kuliah bisnis. Ia berkuliah malam di TiasNimbas Business School. Dari tahun 2012 sampai tahun 2015.
Selesai berkuliah, ia kembali ke Indonesia. Ia sempat bekerja dua perusahaan di Batam. Ia seorang insinyur.
Ada yang lain ketika ia kembali ke Indonesia. Ia tak banyak menemukan roti gandum. Roti ini yang ia konsumsi hampir setiap hari di Belanda sana. Ia sudah cukup terbiasa dengan itu.
“Dari pagi sampai sore makan roti. Malam hari, paling, kami baru makan sup,” tutur pria kelahiran Lubuklinggau itu.
Ia melihat sebuah peluang bisnis. Ia ingin membuat usaha roti sehat di Batam. Mengedukasi masyarakat tentang budaya sehat. Roti sehat itu roti yang kaya serat, minim gula, dan tanpa bahan pengawet.
Usahanya dimulai dengan penelitian pasar. Meliputi kompetitor, produk, serta kemampuan yang ia miliki. Victor menemukan produk roti sehat di Singapura dan Malang. Ia banyak berbincang dengan pemiliknya.
Ia banyak mencari tahu tentang produksi roti dan bakery. Ia memilih-milih mesin yang hendak ia pakai. Di awal tahun 2016, mesin yang ia pesan datang.
Di pertengahan Februari, usahanya mulai jalan. Ia tidak memiliki koki yang jago membuat bakery. Tapi memiliki kemauan untuk belajar.
“Saya kirim dia ke Malang untuk belajar pada kawan yang juga membuka usaha roti sehat,” ujarnya.
Pada bulan Maret dan April, roti-roti sudah jadi. Ia mulai menyebarkannya secara gratis. Untuk tes pasar, katanya.
“Tanggal 8 Mei, kami grand opening,” tambahnya.
Victor memberi nama usahanya Sozo. Lengkapnya, Sozo Healthy Bakery. Sozo berasal dari bahasa Yunani yang artinya menyembuhkan atau menyelamatkan. Filosofinya, roti ini diharapkan tak hanya bisa menyembuhkan jasmani. Tetapi juga holistik. Untuk penyegaran, katanya.
Pria kelahiran 8 Mei 1981 itu mengakui, belum ada profit yang ia dapatkan dari usahanya ini. Belum balik modal. Malah, masih nombok.
Ia memasarkan dengan harga di bawah normalnya roti gandum. Roti dengan komposisi bahan yang sama dengan miliknya dijual di Jakarta dengan harga Rp 60 ribu per pack. Sementara ia menjual dengan harga Rp 20 ribu per pack.
“Akhirnya jadi subsidi silang dengan roti jenis yang lain. Nggak papa,” tuturnya.
Victor sudah memiliki perencanaan usaha hingga lima tahun ke depan. Ia akan membuat varian roti lebih banyak. Ia juga akan melakukan kerjasama dengan retailer.
“Usaha ini juga tidak murni mencari profit. Saya ingin membuat usaha yang berdampak untuk masyarakat lainnya,” katanya.
Satu caranya dengan membuat cooking class atau baking class. Kelas memasak ini bahkan sudah dimulai sebelum usaha benar-benar dibuka. Victor mengajak sejumlah jemaat gerejanya belajar memanggang kue di pabriknya di Komplek Tri Nusa Jaya Blok E nomor 9, Batamcentre.
Selanjutnya, sebagian profit yang ia dapatkan juga akan digunakan untuk membuat aksi-aksi sosial ke desa-desa terpencil. Ini untuk mendukung kegiatan gerejanya.
“Sejak saya sekolah juga sudah diajarkan bagaimana menjadi sosiopreneur, bukan hanya entrepreneur,” ujarnya lagi.
Victor kini sudah kembali bekerja di Belanda. Ia menyerahkan pengelolaan Roti Sehat Sozo ini pada adik iparnya. Ia memantau dari jauh.
Sementara Fajri, mencoba peruntungan memulai bisnis karena dia menjadi korban PHK pada 2015 lalu. Dengan uang pesangon Rp 50 juta, Fajri memutuskan untuk memulai bisnis. Namun awalnya dia bingung, ingin buka warung makan, jasa pencucian kendaraan atau doorsmer, atau usaha laundry.
“Aku keliling Batam, survei usaha. Tiganya ini yang terpikirkan,” kenang pemilik nama lengkap Nurul Fajri ini.
Lama menimbang, pilihannya jatuh pada usaha laundry, yang kini dinamainya Laundry Hafizah yang berlokasi di Ruko Griya Piayu Asri Blok M nomor 1 Seibeduk. Dia beralasan usaha jenis ini tidak terlalu repot dibanding usaha rumah makan dan jasa pencucian kendaraan atau doorsmer.
“Yang capek laundry ini setrika saja, selebihnya mesin yang capek. Yang penting kita perhatikan kualitas cucian dan setrikaan,” katanya berpendapat.
Mengawali usaha ini bersama sang istri, Ayu Nasution, bukan tanpa aral. Empat bulan pertama laundry-nya masih merangkak, bahkan dua bulan pertama hasil usahanya belum bisa menutupi biaya sewa toko serta biaya operasional laundry.
“Hari pertama saja buka tak ada orang yang datang, hari kedua satu orang, ketiga dua orang, hari ke empat kosong lagi,” kenangnya.
Pernah dia dikomplain soal kualitas cucian. Kritik itu dijemputnya untuk semakin memperbaiki diri, dia memutuskan ikut pelatihan laundry yang digelar salah satu usaha laundry yang sudah sukses duluan.
“Bayar Rp 650 ribu, aku yang ikut, satu hari saja. Setelah itu nggak pernah ada lagi komplain,” ucapnya.
Sikap pantang menyerahnya berbuah hasil, kini omzetnya Rp 15 juta hingga Rp 17 juta sebulan dengan total cucian sehari 80 hingga 100 kilo sehari. Ini jauh lebih baik dari penghasilannya dulu sebagai pekerja galangan yang hanya Rp 3 juta sebulan.
“Dua orang kita pekerjakan juga. Rencananya mau buka lagi cabangnya, rencananya di luar Piayu (Seibeduk, red),” ujarnya.
Kepada korban PHK lain, dia berharap untuk tidak cepat menyerah, menurutnya masih banyak jalan untuk meraih rezeki. Asal mencoba dan tekun pasti ada jalan.
“Tidak hanya satu jalan loh ke Roma. Kalau yakin, dicoba lalu cocok nanti jalan terus,” pungkasnya mengutip penggalan peribahasa.